Kata health berasal
dari hal, yang berarti “hale, sound, whole” (kuat, baik, utuh). Berkaitan
dengan kesehatan manusia, kata health (kesehatan) telah didefinisikan dengan sejumlah
cara—seringkali dalam konteks sosialnya, saat orang tua menjelaskan kesehatan
seorang anak atau saat seorang penggemar fanatic menggambarkan kesehatan
seorang atlet profesional. Sampai awal era promosi kesehatan, pada pertengahan
tahun 1970-an, definisi yang paling luas diterima adalah definisi kesehatan
yang dipublikasikan WHO di tahun 1974. Menurut
World Health Organization (WHO), sehat adalah “a state of complete physical, mental dan social well-being and not
merely the absence of disease or infirmity” yang berarti “kesehatan adalah
kondisi sehat secara fisik, mental dan sosial, dan bukan saja tidak terdapat
penyakit dan kelemahan fisik dan mental”. Namun, sekarang ini, kata tersebut mengambil
pendekatan yang lebih holistik; Hahn dan Payne menjelaskan kesehatan dalam
bentuk enam dimensi yang interkatif dan dinamis—dimensi fisik, emosional,
sosial, intelektual, spiritual, dan dimensi okupasional. Berdasarkan UU RI No. 36 Tahun 2009,
Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Penulis mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan atau kondisi dinamis
yang sifatnya multidimensional dan merupakan hasil dari adaptasi seseorang
terhadap lingkungannya. Kesehatan merupakan sumber untuk kehidupan dan ada
dalam berbagai tingkatan. “Banyak orang yang menikmati suatu kondisi sehat
walau orang lain mungkin memandang kondisi tersebut sebagai kondisi yang tidak
sehat”.
Sebagaimana judul di atas penulis akan membahas mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan, khususnya faktor sosial dan budaya yaitu ekonomi
dan agama. Faktor-faktor sosial merupakan faktor yang muncul dari interaksi
antara individu atau kelompok dalam komunitas. Contoh, masyarakat yang hidup di
daerah kota, dengan kehidupan yang serba cepat, memiliki angka kesakitan
terkait stres yang lebih tinggi dibanding masyarakat yang hidup di desa, yang
kehidupannya berjalan lebih tenang. Disisi lain, penduduk di desa mungkin tidak
memiliki akses yang sama dengan penduduk kota berkaitan dengan pilihan atau
mutu rumah sakit atau spesialis kesehatan.
Faktor-faktor budaya muncul dari petunjuk (baik eksplisit
maupun inplisit) yang “diwariskan” kepada seseorang sebagai bagian dari
kelompok lingkungan tertentu. Petunjuk ini akan mengarahkan mereka bagaimana
memandang dunia dan bagaimana berperilaku di dalamnya berkaitan dengan hubungan
dengan orang lain, dengan kekuatan supranatural atau Tuhan, dan dengan
lingkungan alamnya. Berikut ini dijelaskan peran ekonomi dan agama dalam
mempengaruhi kesehatan.
Pemikiran atau
pengamatan sepintas lalu pun membawa kita ke pemahaman tentang hubungan antara
ekonomi dan kesehatan. Status sosial dan ekonomi individu dan kelompok secara
keseluruhan memiliki dampak yang amat kuat pada status kesehatan dan
sebaliknya. Selain itu, perhatian yang diberikan pada segi ekonomi intervensi
semakin besar : apakah biaya sebuah program kesehatan masyarakat menghasilkan
manfaat yang setara dengan, kurang dari, atau lebih besar dari biaya program?
Pertanyaan seperti ini menimbulkan diskusi yang hebat tentang kriteria yang
tepat yang akan digunakan dalam menilai manfaat sebuah program kesehatan
masyarakat. Brenner telah melaksanakan dan mempublikasikan satu seri studi
provokatif yang memperlihatkan hubungan antara masa-masa resesi ekonomi dan
kenaikan abortus spontan, kematian janin, depresi, konsumsi alkohol, bunuh
diri, angka masuk ke RS jiwa, dan penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular.
Program kesehatan
masyarakat memiliki suatu opportunity cost, yaitu uang yang digunakan untuk
tujuan lain, seperti penggunaan dana sesukanya dan untuk keperluan pribadi,
pendidikan masyarakat, dan perawatan jalan. Keputusan ini mengonsumsi sumber
dana untuk suatu tujuan tidak akan memberi kesempatan orang untuk membelanjakan
dana yang sama untuk keperluan lain. Perlu dipertanyakan apa manfaat dari
keputusan seperti itu.
Kebanyakan orang
menghargai turunnya penderitaan manusia yang dihasilkan oleh pergerakan
kesehatan masyarakat. Namun, harus disadari bahwa semakin jauh sesuatu, dalam
waktu dan ruang, dari ancaman penderitaan personal, semakin kecil kemungkinan
dapat diberikan pertimbangan terhadapnya. Keberhasilan dalam pekerjaan
kesehatan masyarakat cenderung menutupi nilai sebenarnya.
Baik situasi ekonomi setempat maupun
nasional dapat memengaruhi kesehatan komunitas melalui penurunan layanan
kesehatan dan komunitas melalui penurunan layanan kesehatan dan sosial.
Penurunan kondisi ekonomi berarti bahwa pemasukan pajak yang rendah akan
diterapkan pada program-program seperti dana, sosial, kupon makanan, dan
layanan kesehatan masyarakat. Kondisi ini muncul akibat penurunan pendapatan
yang menyebabkan lembaga-lembaga melakukan pemotongan anggaran. Dengan dana
yang lebih sedikit, lembaga itu harus mengubah aturan kelayakan yang seharusnya
dengan membatasi bantuan hanya untuk individu yang benar-benar membutuhkan.
Tampaknya, banyak masyarakat yang sebelum penurunan kondisi ekonomi layak
diberi bantuan menjadi tidak layak.
Majikan biasanya semakin kesulitan untuk
memberikan kemudahan kesehatan bagi karyawannya saat pendapatan mereka menurun.
Penganggur atau pekerja serabutan berhadapan dengan kemiskinan dan kesehatan
yang memburuk. Dengan begitu, efek keseluruhan dari penurunan kondisi ekonomi
akan memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan manusia.
Sejumlah agama mengambil sikap tersendiri terhadap layanan
kesehatan. Contoh, beberapa komunitas keagamaan membatasi jenis perlakuan medis
yang dapat diterima anggotanya. Sebagian tidak membolehkan imunisasi; lainnya
tidak membolehkan anggota mereka diobati oleh dokter. Lainnya lagi melarang
konsumsi makanan tertentu. Contoh,
aturan diet Kosher membolehkan orang Yahudi mengonsumsi daging yang berasal
hanya dari hewan memamah biak dan memiliki kuku berbelah dari ikan yang
memiliki insang dan sisik.
Beberapa komunitas keagamaan secara
aktif membahas isu moral dan etis seperti aborsi, hubungan seksual pranikah,
dan homoseksualitas. Agama lainnya mengajarkan kode-kode promosi kesehatan
dalam kehidupan kepada pengikutnya. Secara sederhana sudah ditunjukkan hubungan antara agama dan
kesehatan.
Secara
teoritis ada empat kemungkinan pola hubungan antara agama dan kesehatan , yaitu
:
1. Saling berlawanan
Agama
dan kesehatan potensial muncul sebagai dua bidang kehidupan yang saling
berlawanan atau setidaknya tema kesehatan tersebut masih menjadi wacana
prokontra. Dalam batasan tertentu, hal ini menunjukkan bahwa apa yang
dianjurkan dalam bidang kesehatan tidak selaras dengan apa yang dianjurkan
dalam agama. Misalnya mengenai terapi dengan urine, pengobatan dengan hal yang
memabukkan atau pencegahan HIV/AIDS melalui kondom. Dalam konteks ini, urine
menurut ajaran Islam adalah sesuatu hal yang najis. Oleh karena itu, terapi
kesehatan dengan menggunakan urine sesungguhnya merupakan hal yang
bertentangan. Begitu pula pengobatan dengan menggunakan barang atau benda-benda
yang diharamkan misalnya alkohol. Promosi tentang penggunaan kondom untuk
menghindarkan diri dari sebaran HIV/AIDS merupakan suatu program yang memiliki
irisan moral dengan agama. Program ini dapat diapresiasikan oleh kalangan agama
sebagai kebijakan yang membuka peluang perilaku pergaulan bebas atau secara
implisit kebijakan itu seakan berbunyi “bolehkan free sex asalkan pakai
kondom”
2. Saling mendukung
Agama
dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung. Orang yang
akan melaksanakan ibadah haji membutuhkan peran tenaga medis untuk melakukan
general check up supaya kegiatan ibadah haji dapat berjalan lancar. Tradisi
puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang telah diakui oleh kalangan
medis dalam meningkatkan kesehatan. Ajaran agama sejatinya memiliki potensi untuk
memberikan dukungan terhadap kesehatan.
3. Saling melengkapi
Adanya
peran dari agama untuk mengoreksi praktik kesehatan/ ilmu kesehatan yang
mengoreksi praktik (kesehatan) keagamaan. Islam memberikan ajaran bahwa buka
puasa akan lebih baik dengan cara memakan makanan yg manis-manis. Perintah ini dianggap oleh para penganutnya sebagai
sesuatu hal yang dianjurkan, namun sesungguhnya secara kesehatan buka puasa dengan
yg manis-manis bukan dimaksudkan sebagai sesuatu hal yang menyehatkan, namun
lebih ditujukan untuk memulihkan kondisi tubuh sehingga tidak kaget ketika akan
menerima asupan yang lebih banyak lagi.
4. Saling terpisah dan bergerak dalam
kewenangannya masing-masing
Agama
dan ilmu kesehatan memiliki peluang untuk berkembang masing-masing. Tradisi
agama hindu di India, memiliki paradigma dan sekaligus teknologi kesehatan yg
berbeda dg apa yang dikembangkan di dunia kesehatan. Dalam ajaran agama hindu
dikenal ada paradigma kesehatan Ayurveda. Pengobatan cara India
berpangkal pada falsafah Ayurveda dan Samkya Darsana.
Berikut
ini, beberapa prinsip agama dalam kesehatan, sebagai berikut :
1. Agama
menekankan pentingnya pencegahan penyakit dan promosi kesehatan melalui
keseimbangan aktivitas, gizi yang baik serta budaya bersih/sehat.
2. Agama
mengintroduksi konsep ketersediaan obat untuk setiap penyakit.
3. Agama
menyuruh hamba Tuhan untuk berobat jika sakit.
4. Agama
menganjurkan pemberlakuan sistem rujukan dalam semua hal, termasuk kesehatan.
5. Agama
mengajarkan doa dan bersikap positif terhadap penyakit.
6. Agama
memberi dasar filosofi dan etik mengenai konsep penjaminan kesehatan secara
kolektif.
Dari
uraian di atas jelas bahwa agama dapat memengaruhi kesehatan suatu komunitas
baik secara positif maupun negatif.
Kepustakaan:
http://www.scribd.com/doc/55938723/Agama-Dan-Kesehatan
http://www.scribd.com/doc/38066249/Kesehatan-Dan-Ekonomi
James F. McKenzie,
Robert R. Pinger, Jerome E. Kotecki, Kesehatan Masyarakat:
Suatu Pengantar (Edisi 4), Jakarta: EGC.
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Kesehatan.
Jakarta : Medika Salemba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar