Selasa, 15 Juli 2014

HUBUNGAN EKONOMI, AGAMA DAN KESEHATAN:Suatu Tinjauan Kritis


Kata health berasal dari hal, yang berarti “hale, sound, whole” (kuat, baik, utuh). Berkaitan dengan kesehatan manusia, kata health (kesehatan) telah didefinisikan dengan sejumlah cara—seringkali dalam konteks sosialnya, saat orang tua menjelaskan kesehatan seorang anak atau saat seorang penggemar fanatic menggambarkan kesehatan seorang atlet profesional. Sampai awal era promosi kesehatan, pada pertengahan tahun 1970-an, definisi yang paling luas diterima adalah definisi kesehatan yang dipublikasikan WHO di tahun 1974.  Menurut  World Health Organization (WHO), sehat adalah “a state of complete physical, mental dan social well-being and not merely the absence of disease or infirmity” yang berarti “kesehatan adalah kondisi sehat secara fisik, mental dan sosial, dan bukan saja tidak terdapat penyakit dan kelemahan fisik dan mental”. Namun, sekarang ini, kata tersebut mengambil pendekatan yang lebih holistik; Hahn dan Payne menjelaskan kesehatan dalam bentuk enam dimensi yang interkatif dan dinamis—dimensi fisik, emosional, sosial, intelektual, spiritual, dan dimensi okupasional.  Berdasarkan UU RI No. 36 Tahun 2009, Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Penulis mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan atau kondisi dinamis yang sifatnya multidimensional dan merupakan hasil dari adaptasi seseorang terhadap lingkungannya. Kesehatan merupakan sumber untuk kehidupan dan ada dalam berbagai tingkatan. “Banyak orang yang menikmati suatu kondisi sehat walau orang lain mungkin memandang kondisi tersebut sebagai kondisi yang tidak sehat”.
Sebagaimana judul di atas penulis akan membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, khususnya faktor sosial dan budaya yaitu ekonomi dan agama. Faktor-faktor sosial merupakan faktor yang muncul dari interaksi antara individu atau kelompok dalam komunitas. Contoh, masyarakat yang hidup di daerah kota, dengan kehidupan yang serba cepat, memiliki angka kesakitan terkait stres yang lebih tinggi dibanding masyarakat yang hidup di desa, yang kehidupannya berjalan lebih tenang. Disisi lain, penduduk di desa mungkin tidak memiliki akses yang sama dengan penduduk kota berkaitan dengan pilihan atau mutu rumah sakit atau spesialis kesehatan.
Faktor-faktor budaya muncul dari petunjuk (baik eksplisit maupun inplisit) yang “diwariskan” kepada seseorang sebagai bagian dari kelompok lingkungan tertentu. Petunjuk ini akan mengarahkan mereka bagaimana memandang dunia dan bagaimana berperilaku di dalamnya berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, dengan kekuatan supranatural atau Tuhan, dan dengan lingkungan alamnya. Berikut ini dijelaskan peran ekonomi dan agama dalam mempengaruhi kesehatan.
Pemikiran atau pengamatan sepintas lalu pun membawa kita ke pemahaman tentang hubungan antara ekonomi dan kesehatan. Status sosial dan ekonomi individu dan kelompok secara keseluruhan memiliki dampak yang amat kuat pada status kesehatan dan sebaliknya. Selain itu, perhatian yang diberikan pada segi ekonomi intervensi semakin besar : apakah biaya sebuah program kesehatan masyarakat menghasilkan manfaat yang setara dengan, kurang dari, atau lebih besar dari biaya program? Pertanyaan seperti ini menimbulkan diskusi yang hebat tentang kriteria yang tepat yang akan digunakan dalam menilai manfaat sebuah program kesehatan masyarakat. Brenner telah melaksanakan dan mempublikasikan satu seri studi provokatif yang memperlihatkan hubungan antara masa-masa resesi ekonomi dan kenaikan abortus spontan, kematian janin, depresi, konsumsi alkohol, bunuh diri, angka masuk ke RS jiwa, dan penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular.
Program kesehatan masyarakat memiliki suatu opportunity cost, yaitu uang yang digunakan untuk tujuan lain, seperti penggunaan dana sesukanya dan untuk keperluan pribadi, pendidikan masyarakat, dan perawatan jalan. Keputusan ini mengonsumsi sumber dana untuk suatu tujuan tidak akan memberi kesempatan orang untuk membelanjakan dana yang sama untuk keperluan lain. Perlu dipertanyakan apa manfaat dari keputusan seperti itu.
Kebanyakan orang menghargai turunnya penderitaan manusia yang dihasilkan oleh pergerakan kesehatan masyarakat. Namun, harus disadari bahwa semakin jauh sesuatu, dalam waktu dan ruang, dari ancaman penderitaan personal, semakin kecil kemungkinan dapat diberikan pertimbangan terhadapnya. Keberhasilan dalam pekerjaan kesehatan masyarakat cenderung menutupi nilai sebenarnya.
Baik situasi ekonomi setempat maupun nasional dapat memengaruhi kesehatan komunitas melalui penurunan layanan kesehatan dan komunitas melalui penurunan layanan kesehatan dan sosial. Penurunan kondisi ekonomi berarti bahwa pemasukan pajak yang rendah akan diterapkan pada program-program seperti dana, sosial, kupon makanan, dan layanan kesehatan masyarakat. Kondisi ini muncul akibat penurunan pendapatan yang menyebabkan lembaga-lembaga melakukan pemotongan anggaran. Dengan dana yang lebih sedikit, lembaga itu harus mengubah aturan kelayakan yang seharusnya dengan membatasi bantuan hanya untuk individu yang benar-benar membutuhkan. Tampaknya, banyak masyarakat yang sebelum penurunan kondisi ekonomi layak diberi bantuan menjadi tidak layak.
Majikan biasanya semakin kesulitan untuk memberikan kemudahan kesehatan bagi karyawannya saat pendapatan mereka menurun. Penganggur atau pekerja serabutan berhadapan dengan kemiskinan dan kesehatan yang memburuk. Dengan begitu, efek keseluruhan dari penurunan kondisi ekonomi akan memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan manusia.
Sejumlah agama mengambil sikap tersendiri terhadap layanan kesehatan. Contoh, beberapa komunitas keagamaan membatasi jenis perlakuan medis yang dapat diterima anggotanya. Sebagian tidak membolehkan imunisasi; lainnya tidak membolehkan anggota mereka diobati oleh dokter. Lainnya lagi melarang konsumsi  makanan tertentu. Contoh, aturan diet Kosher membolehkan orang Yahudi mengonsumsi daging yang berasal hanya dari hewan memamah biak dan memiliki kuku berbelah dari ikan yang memiliki insang dan sisik.
Beberapa komunitas keagamaan secara aktif membahas isu moral dan etis seperti aborsi, hubungan seksual pranikah, dan homoseksualitas. Agama lainnya mengajarkan kode-kode promosi kesehatan dalam kehidupan kepada pengikutnya. Secara sederhana sudah ditunjukkan hubungan antara agama dan kesehatan.
Secara teoritis ada empat kemungkinan pola hubungan antara agama dan kesehatan , yaitu :
1.      Saling berlawanan
Agama dan kesehatan potensial muncul sebagai dua bidang kehidupan yang saling berlawanan atau setidaknya tema kesehatan tersebut masih menjadi wacana prokontra. Dalam batasan tertentu, hal ini menunjukkan bahwa apa yang dianjurkan dalam bidang kesehatan tidak selaras dengan apa yang dianjurkan dalam agama. Misalnya mengenai terapi dengan urine, pengobatan dengan hal yang memabukkan atau pencegahan HIV/AIDS melalui kondom. Dalam konteks ini, urine menurut ajaran Islam adalah sesuatu hal yang najis. Oleh karena itu, terapi kesehatan dengan menggunakan urine sesungguhnya merupakan hal yang bertentangan. Begitu pula pengobatan dengan menggunakan barang atau benda-benda yang diharamkan misalnya alkohol. Promosi tentang penggunaan kondom untuk menghindarkan diri dari sebaran HIV/AIDS merupakan suatu program yang memiliki irisan moral dengan agama. Program ini dapat diapresiasikan oleh kalangan agama sebagai kebijakan yang membuka peluang perilaku pergaulan bebas atau secara implisit kebijakan itu seakan berbunyi “bolehkan free sex asalkan pakai kondom”

2.      Saling mendukung
Agama dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung. Orang yang akan melaksanakan ibadah haji membutuhkan peran tenaga medis untuk melakukan general check up supaya kegiatan ibadah haji dapat berjalan lancar. Tradisi puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang telah diakui oleh kalangan medis dalam meningkatkan kesehatan. Ajaran agama sejatinya memiliki potensi untuk memberikan dukungan terhadap kesehatan.

3.      Saling melengkapi
Adanya peran dari agama untuk mengoreksi praktik kesehatan/ ilmu kesehatan yang mengoreksi praktik (kesehatan) keagamaan. Islam memberikan ajaran bahwa buka puasa akan lebih baik dengan cara memakan makanan yg manis-manis.  Perintah ini dianggap oleh para penganutnya sebagai sesuatu hal yang dianjurkan, namun sesungguhnya secara kesehatan buka puasa dengan yg manis-manis bukan dimaksudkan sebagai sesuatu hal yang menyehatkan, namun lebih ditujukan untuk memulihkan kondisi tubuh sehingga tidak kaget ketika akan menerima asupan yang lebih banyak lagi.

4.      Saling terpisah dan bergerak dalam kewenangannya masing-masing
Agama dan ilmu kesehatan memiliki peluang untuk berkembang masing-masing. Tradisi agama hindu di India, memiliki paradigma dan sekaligus teknologi kesehatan yg berbeda dg apa yang dikembangkan di dunia kesehatan. Dalam ajaran agama hindu dikenal ada paradigma kesehatan Ayurveda. Pengobatan cara India berpangkal pada falsafah Ayurveda dan Samkya Darsana.

Berikut ini, beberapa prinsip agama dalam kesehatan, sebagai berikut :
1. Agama menekankan pentingnya pencegahan penyakit dan promosi kesehatan melalui keseimbangan aktivitas, gizi yang baik serta budaya bersih/sehat.
2. Agama mengintroduksi konsep ketersediaan obat untuk setiap penyakit.
3. Agama menyuruh hamba Tuhan untuk berobat jika sakit.
4. Agama menganjurkan pemberlakuan sistem rujukan dalam semua hal, termasuk kesehatan.
5. Agama mengajarkan doa dan bersikap positif terhadap penyakit.
6. Agama memberi dasar filosofi dan etik mengenai konsep penjaminan kesehatan secara kolektif.
Dari uraian di atas jelas bahwa agama dapat memengaruhi kesehatan suatu komunitas baik secara positif maupun negatif.


Kepustakaan:
http://www.scribd.com/doc/55938723/Agama-Dan-Kesehatan
http://www.scribd.com/doc/38066249/Kesehatan-Dan-Ekonomi
James F. McKenzie, Robert R. Pinger, Jerome E. Kotecki, Kesehatan Masyarakat: Suatu Pengantar (Edisi 4), Jakarta: EGC.
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Kesehatan. Jakarta : Medika Salemba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar